Senja di Musim Kemanusiaan


Cerpen Karangan: MH Thamrin Hasibuan

Alhamdulillah, kami sebangsa senegara sedang bergembira. Gembira bukan sembarang. Kami mendapat anugerah yang membahagiakan. Jikalau kalian sebut anugerah itu berupa minyak bumi, palawija, kayu-kayuan atau hasil bumi yang lain, hah, kalian salah! Kami sudah punya semuanya itu dari dahulu kala. Pun kalian menduga anugerah yang kami maksud ialah sifat sabar, rela, ikhlas dan pasrah, hah, kalian lagi-lagi salah! Kami pula bersifat itu dari masa purba. Dan apabila kalian tebak sekali lagi anugerah itu berbukti kebebasan untuk melaksanakan hak azasi kami, hah, kalian tetap salah! Belasan tahun dari sekarang kami sudah mulai berhak dan berazas.Maka sebaiknya kami beritahu anugerah kepada kalian sesungguhnya:

Sebagai negeri tropis, kami mengalami dua musim, musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan ialah ketika curah hujan di atas daratan dan lautan negeri kami meningkat karena…hmm, untuk selanjutnya, juga pengertian musim kemarau tiada perlu kami jelaskan. Sebab kalian sudah pasti mengetahui juga dari buku-buku pelajaran di bangku sekolah. Dua musim itu kami saksikan sepanjang tahun dan sepanjang puluhan abad.
Akan tetapi kami mengalami satu musim lagi yang kalian merasa asing sama sekali. Kami bersumpah, satu musim ini kalian tidak pernah sekali-kali mendapatkan pengetahuannya dari ruang pendidikan. Namun, tidak usahlah mengiri terhadap ketidaktahuan kalian, karena musim yang terakhir ini baru-baru kami ketahui juga pada tahun-tahun belakangan. Sebaiknya kalian mempersiapkan tim periset dari negeri kalian masing-masing untuk membantu kami menyusun pengetahuan tentang satu musim itu supaya dapat dimasukkan ke dalam batasan ilmu tertentu.
Si musim satu itulah anugerah kami. Tak mengerti kami dapatkan dari mana anugerah itu, Tuhan kah yang memberi, kebetulan kah, rekayasa ilmuwan kami? Meski mengerti pun tidak, kami mengalami musim itu. Oleh sebab pengetahuan kami masih buram, nama musim pun belum kami buat sepakat. Tetapi untuk kalian, boleh saja kami berikan nama sementara: Musim Kemanusiaan.
Musim kemanusiaan belum lagi lama mendarat. Ini adalah saat-saat paling mengharu-biru dan membahagiakan. Pada musim tiba, tiada satu kesusahan nampak berat pada kami. Satu manusia kesulitan, apalagi lebih, manusia lain menolong. Si sulit dan si penolong sungguh tidak saling mengenal. Mereka diperkenalkan oleh musim kemanusiaan belaka.
Beberapa waktu lalu, seorang dari kami yang hijrah ke Timur Tengah untuk bekerja mengalami musibah. Ia dituduh membunuh seorang tuan kerjanya. Tuduhan yang mengakibatkan dirinya dibayang-bayangi hukuman mati oleh pengadilan negara setempat. Kabar musibahnya cepat sekali sampai di negeri kami. Keberuntunganlah bagi saudara kami di seberang karena musibah terjadi saat musim kemanusiaan. Para penolong bermunculan secepat berita yang sampai itu. Tenaga, uang, pikiran dikeluarkan tanpa keluh kesah. Walhasil, saudara kami batal diperhadapkan kepada barisan algojo. Ia akhirnya dipulangkan setelah mahkamah memutuskan dirinya tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap tuan kerjanya.
Usai penderitaan yang satu, yang lain tinggal menyusul. Terjadilah tanpa diduga-duga bencana alam banjir bandang akibat kebotakan hutan di pedalaman Sumatera Utara. Empat desa habis dihajar air bah. Seratus jiwa lebih tewas dan dua kali lipatnya lagi hilang terbawa arus. Anak-anak kehilangan induknya, rumah tinggal ambruk berkalang lumpur dan wabah penyakit siap mengancam. Cukup beberapa jam setelah berita bencana, kapal terbang pengangkut bantuan segera melepas pacunya dari bandara Halim. Penolong serba-serbu menyuarakan keprihatinan di beragam media massa, disusul pertolongan uang, tenaga dan pikiran.
Banjir di Sumatera meringkus banyak nyawa. Namun demikian semuanya disantuni, rumah-rumah yang hancur dibangun segera, posko pengungsian menyediakan segala keperluan, dokter-perawat dan obat-obatan diberangkatkan sesuai butuhnya, anak-anak korban disediakan sekolah sementara. Dengan begitu bencana maha dahsyat terasa tidak begitu parau di dalam dada para korban.
Urusan banjir di pedalaman Sumatera belum kelar, kebakaran hebat melanda Jakarta. Sebuah pemukiman yang terkenal sebagai paling padat Sebenua Asia serta merta menghangus jadi arang. Kebakaran tak sanggup melahirkan korban jiwa, tetapi cukup membuat 120 rumah tinggal cerita dan 500 lebih manusianya terancam jadi gelandangan.
Untuk sekian kali musim kemanusiaan mengirimkan para penyelamat. Kamp pengungsi korban kebakaran berdiri seketika. Sebagian diinapkan di tenda-tenda yang layak, sisanya dialihkan ke sebuah rumah susun milik negara. Dan keprihatinan menjadi hukum yang wajib diutarakan seluas-luasnya oleh para penolong, lewat televisi, koran, majalah, radio dan internet.
Kebakaran pemukiman pada akhirnya berlalu kisahnya. Rumah-rumah baru lekas didirikan, berkat para penolong di musim kemanusiaan. Sementara beribu kilometer dari Jakarta, rumah baru bagi penderita banjir bandang nyaris selesai pembangunannya.
Hufh, andai saja kalian dapat melihat sendiri, betapa musim kemanusiaan lambat laun sedang menggapai puncaknya. Derita anak manusia sebagian menjadi derita pula bagi sebagian yang lain. Pendek kata, di negeri kami saat ini, tak boleh dibiarkan manusia sengsara seorang atau sekelompok diri. Satu jiwa manusia adalah jiwa bagi manusia selebihnya. Tentu sangat sukar kalian membayang-bayangkan musim kemanusiaan ini kecuali melihat dengan mata kalian sendiri.
Cerita yang kami sampaikan singkat di atas sebetul-betulnya hanya contoh kecil tak seberapa. Dalam musim kemanusiaan anak yang putus sekolah segera disambung pendidikannya, yang hidup dicukupi, yang mati diurus kematiannya, yang hilang pekerjaan langsung diganti dengan pekerjaan baru, yang kehabisan modal berdagang ditolong permodalannya dan yang sakit segera diupayakan sembuh penyakitnya.
Sungguh, kami tak akan menceritakan yang lebih besar kepada kalian, takut-takut kalian justru menganggap kami menceritakan takhayul. Musim kemanusiaan terus berjalan bersama duta kemanusiaan yang diutus untuk menolong kesulitan sesama.
Namun begitu kami belum lagi mengerti hakikat musim kemanusiaan. Oleh sebab itu kami bercerita kepada kalian supaya kalian dapat ikut serta memikirkan:
Musim kemanusiaan mengapa datang hanya lima tahun sekali? Bukan lebih baiknya setiap tahun kami merasakan? Kami percaya kehadiran sang musim agung itu ditandai oleh semakin dekatnya masa pergantian juru kelola negara. Selebihnya kami ragu.
Kalian, rupa-rupanya musim kemanusiaan itu menghendaki berkibarnya panji-panji. Para utusan kemanusiaan itu datang bersama panji yang dibawanya. Di dalam panji itu terdapat warna-warna dan gambar-gambar tertentu. Bagaimana pun, mereka nampaknya menolong dengan sangat tulus dan kami yang ditolong menyambutnya dengan teramat berbahagia. Mereka adalah dewa penyelamat kami dari jurang kesusahan. Jadi betapa perkataan mereka, akibat pertolongan sebegitu besar telah diberikan, kami pun mengamininya sebagai balas terima kasih.
Satu ucapan terima kasih dari kami yang mendapat pertolongan dapat kalian lihat pada sederet rumah-rumah baru di pedalaman Sumatera dan pemukiman padat Jakarta yang kami ceritakan tadi. Tembok rumah-rumah baru sebagian kami dibiarkan dicat dengan lukisan wajah duta kemanusiaan supaya tidak kami lupakan pertolongan mereka. Wajah, bersama warna dan gambar panjinya. Beragam rupa warna dan lambang panji mereka. Merah, kuning, hijau, biru, putih bersama lambangnya sendiri-sendiri: banteng, kayu beringin, dua bulan sabit bertolak belakang, Ka’bah, lambang mobil Mercedes Benz, matahari, kepala burung rajawali, bola dunia tersimpul tali serta lain-lain. Itu saja pernyataan terima kasih kami yang rasa-rasanya sangat kecil dari pada pertolongan mereka
Tahun tidak terasa telah berganti yang baru. Musim kemanusiaan sedikit lagi memuncak. Duta kemanusiaan kian meramaikan negeri kami. Penderitaan manusia semakin tidak mendapat kesempatan berkembang. Di mana timbul susah, di situ muncul penolong. Rumah-rumah dan pakaian kami dipenuhi banyak gambar duta kemanusiaan.
Belakangan, kami bertambah tidak mengerti. Lebih banyak penolong jumlahnya dari pada yang mendapat derita. Penderitaan tiada mudah dijumpai di negeri kami pada puncak musim kemanusiaan. Sementara kelompok duta kemanusiaan sudah terlanjur ingin memberikan pertolongan.
Maka tidak disengaja sebetulnya bahwa kami mendengar desas-desus dari angin yang mengabarkan lebih atau kurang seperti ini:
“Bagaimana jadinya sekarang, tak ada lagi yang membutuhkan pertolongan. Semua orang berbahagia. Semakin jarang pertolongan kita dibutuhkan manusia lain. Kan, musim kemanusiaan belum selesai?”
“Ah, kau. Mudah saja, bukan. Tinggal lagi kita rancang suatu kesusahan buat orang lain, lalu kita dapat menolongnya lagi. Setuju?”
Dan setelah kabar angin itu—kami belum memeriksa kefasihannya, kebakaran melanda lagi rumah-rumah di Jakarta. Dari negeri kami sebelah timur yang sejak dahulu terkenal tenggang rasa merebak kerusuhan yang katanya dipicu sentimen agama. Tak begitu jauh dari Jakarta, kerusuhan satu agama berbeda paham meledak seperti letusan gunung. Di Jakarta sendiri, selain kebakaran kerap terjadi pembunuhan oleh kelompok-kelompok liar yang sama sekali tidak diketahui akar rumput persoalannya. Dan semua yang kami maksud tentu saja mendulang penderitaan sangat besar.
Kemudian hari, bersama panji-panji di belakangnya, kami dapat melihat duta kemanusiaan datang silih berganti membawakan pertolongan. Semua demi musim kemanusiaan yang sebentar lagi mungkin berakhir.
Kami sedang memperhatikan senja di musim kemanusiaan. Sungguh-sungguh harus diakui kami tidak mengerti terhadap musim yang satu ini. Dari itu kami rasa sangat penting menceritakannya kepada kalian, barangkali kalian akan dapat lebih mengerti.
Pejaten, 2013
(Senja Di Musim Kemanusiaan merupakan salah satu cerpen MH Thamrin Hasibuan dalam buku antologi cerpen Pasca Kematian Paman Gober, Indie Book, Yoyakarta, 2013)


Share this article :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Created By: .| Divisi Penelitian dan Pengembangan |.
Copyright © 2016. KSR PMI Unit IAIN Raden Intan Lampung - Masa Bakti 2015-2016
Jl.Letkol H. Endro Suratmin Sukarame Bandarlampung
POS: 35131 E-Mail: ksrpmiradenintan@gmail.com